Another Templates

Selasa, 23 Juni 2015

Studi Qur'an



BAB I
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang

Al Quran merupakan kitab suci dan sumber ajaran Islam yang pertama dan utama. Apabila dilakukan telah seksama, maka akan ditemukan bahwa Al Quran mengandung keunikan-keunikan makna yang tiada akan pernah habis untuk dikaji dan memberi isyarat makna yang tak terbatas. Kedudukan Al Quran sebagai rujukan utama umat Islam dalam berbagai aspek kehidupan dan terbukanya untuk interpretasi baru, merupakan motivasi tersendiri terhadap lahirnya usaha-usaha untuk menafsirkan dan menggali kandungan maknanya.
Kitab suci Al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab, untuk memahami bahasa tersebut seseorang dituntut untuk mendalami bahasa di mana kitab suci diturunkan, dalam segala aspeknya, baik perkembangan dan tata aturan permainan yang digunakannya. Hal semacam ini tidak terlepas dari usaha memahami Al-Quran secara utuh dan menyeluruh. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu adanya penelusuran sejarah tentang berbagai upaya ulama dalam mengembangkan kaidah-kaidah penafsiran. Tujuannya adalah untuk mengetahui prosedur kerja para ulama tafsir dalam menafsirkan Al-Quran sehingga penafsiran tersebut dapat digunakan secara fungsional oleh masyarakat Islam dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan. Kaidah-kaidah ini kemudian dapat digunakan sebagai referensi bagi pemikir Islam kontemporer untuk mengembangkan kaidah penafsiran yang sesuai dengan perkembangan zaman.Namun kaidah-kaidah penafsiran di sini tidak berperan sebagai benar-salah terhadap suatu penafsiran Al Quran. Kaidah-kaidah ini lebih berfungsi sebagai mengawali metodologis agar tafsir yang dihasilkan bersifat obyektif dan ilmiah serta dapat dipertanggungjawabkan. Sebab produk tafsir pada dasarnya adalah produk pemikiran manusia yang dibatasi oleh ruang dan waktu.
B.       Rumusan Masalah

·         Definisi Qawa’id Tafsir
·         Metodologi Tafsir Al-Qur’an        
·         Urgensi Qawa’id Tafsir
·         Keutamaan Kaidah Tafsir
·         Beberapa Kaidah Dalam Qawa’id Tafsir
·         Sejarah Lahirnya Qawa’id Al-Tafsir

C.       Tujuan Pembahasan

·         Mengetahui Definisi Qawa’id Tafsir
·         Mengetahui Metodologi Tafsir Al-Qur’an
·         Mengetahui Urgensi Qawa’id Tafsir
·         Mengetahui Keutamaan Kaidah Tafsir
·         Mengetahui Beberapa Kaidah Dalam Qawa’id Tafsir
·         Mengetahui Sejarah Lahirnya Qawa’id Al-Tafsir











BAB II
PEMBAHASAN

A.        DEFINISI QAWA’ID TAFSIR

Kata qawaid al-tafsir terdiri atas dua kata, yaitu qawaid dan al-tafsir.  Qawaid adalah jamak (plural) dari kata mufrad (singular) qaidah, bentuk feminim (muannats) dari kata mudzakkar (maksulin) qa’idah. Secara harfiah, qaidah (dalam bahasa indonesia kaidah) berarti dasar, asas, paduan, prinsip, juga bisa diartikan dengan peraturan, model, contoh, dan cara.[1]
Secara (etimologis), kata tafsir berasal dari kata kerja al-bayaan (jelas), fassara (keterangan), at-tabyiin (penjelasan) dan al-kasyf (terang sekali).[2] Dengan demikian, secara umum kata tafsir adalah usaha untuk memperjelas, memahami, serta menafsirkan teks dan makna Al-Qur’an, termasuk usaha untuk mengadaptasikan teks Al-Qur’an ke dalam situasi kontemporer pada masa dan tempat seseorang musaffir hidup.
Secara khusus, Ibn Hayyan Al-Andalusi, dalam tafsir Abl-Bahr Al-Muhith menjelaskan bahwa tafsir sebagai “ilmu yang membahas tata cara mengucapkan lafazh Al-Qur’an, menggali maknanya (terdalamnya), memahami hukum, makna kontekstualnya, menggali makna yang dikandung oleh struktur kalimat, serta ilmu penunjang lainnya.[3]
Adapun pengertian kaidah tafsir adalah hukum-hukum Al-Kulliyah (sifatnya umum dan menyeluruh) yang mengantarkan kepada kemampuan untuk memahami makna-makna Al-Qur’an dan mengetahui metode pemanfaatannya (pengamalannya)




B.        METODOLOGI TAFSIR AL-QUR’AN  

            Kaidah fiqhiyyah dapat dijadikan analogi bagi perubahan pemahaman dan penafsiran, bahwa pemahaman dan penafsiran Al-qur’an bersifat dinamis (berkembang dan memungkinkan berubahan) sesuai dengan konteks ruang dan waktu. Nash (teks) Al-Qur’an tidak akan berubah dan berbeda sampai kapan pun, kecuali menyangkut variasi bacaan dari sedikit ayat. Akan tetapi, pemahaman, penafsiran, dan penerapan kaum muslim terhadap Al-Qur’an dapat memungkinkan untuk terus berubah. Oleh karena itu, wajar apabila kemudian muncul berbagai bentuk tafsir dan metode penafsiran dari zaman ke zaman. Demikian pula, dengan variasi bentuk implementasinya Al-Qur’annya.
            Kajian (disiplin ilmu) yang merekontruksi dan menganalisis metode penafsiran inilah yang disebut metodologi. Secara sederhana, metodologi adalah ilmu atau studi tentang berbagai sumber, metode, pendekatan, teknik, dan tahapan penafsiran, sedangkan metode (manhaj) adalah jalan yang ditempuh oleh musafir ketika menafsirkan Al-Qur’an.

            Wacana metodologi tafsir ini disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut :
1.         menguatkan kesadaran di kalangan para pemikir muslim untuk mencari metode penafsiran sesuai dengan situasi, zaman, dan tempat, terutama yang mampu menghasilkan penafsiran yang sesuai dengan nalar masyarakat modern.
2.         banyak pemikir muslim dan non-muslim (para islamisis) pada masa modern ini yang dilakukan penelitian dan kajian kritis mengenai paradigma, metode, pendekatan, dan hasil penelitian para musafir sebelumnya. Dari sekian banyak hal yang dikritisi dari para musafir, menyangkut metodologi (ilmu mengenai metode-metode penafsiran)
3.         perkembangan berbagai metode dan kajian ilmiah yang berkembang di Barat (Amerika dan Eropa) tidak dapat dielakkan oleh para pemikir muslim. Misalnya, para pemikir yang mengembangkan kajiannya melalui pendekatan linguistik kritis untuk mendekontruksi semua bangunan ideologi, teologi, golongan, dan semua kecenderungan penafsiran ini dapat diusut sejak Ath-thabari sampai sekarang.[4]

            Terkait dengan ketiga faktor tersebut, diakui atau tidak, suka ataupun tidak, perkembangan metodologi tafsit dikalangan muslim ini terkait pula dengan faktor eksternal, yaitu ekspansi dan kolonialisasi Barat (Eropa dan Amerika). Peristiwa ini memberi pengaruh pada para penafsir zaman ini. Kebebasan membebaskan diri dari belenggu kolonial, taklid telah mengabaikan konflik sektarian. Mereka membangun kesadaran terbebas dan terpuruknya peradaban Islam melalui penafsiran dan pembaharuan.

C.        URGENSI QAWA’ID TAFSIR

Ilmu kaidah tafsir mempunyai peranan yang sangat penting, khususnya dalam mempelajari ilmu tafsir. Bahkan, suatu keharusan bagi yang ingin mendalami  kajian tafsir untuk menguasai kaidah tafsir. Sebab, ilmu kaidah tafsir membahas pokok-pokok dan garis besar hukum syariat yang terkandung di dalam Al-Qur’an. Dari situ kemudian dikembangkan kepada hukum-hukum yang sifatnya juz’I (parsial).
Disamping itu, mempelajari Al-Quran, yang merupakan obyek pembahasan ilmu kaidah tafsir, sangat jelas memiliki urgensi yang sangat besar. Karena Al-Qur’an merupakan pedoman hidup bagi seluruh umat manusia.


D.                                 KEUTAMAAN KAIDAH TAFSIR

Ada beberapa keutamaan mempelajari Kaidah Tafsir, yaitu: [[5]]

1.         Dari segi tema pembahasan: yang menjadi obyek kajian adalah firman Allah Ta’ala yang merupakan kitab yang paling mulia dan agung.
2.         Dari segi tujuan dan maksudnya: agar dapat berpegang teguh pada ajaran Allah untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
3.         Dari segi peranannya yang sangat dibutuhkan: di mana setiap insan manusia yang ingin mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat sangat memerlukan ilmu-ilmu syariat, dan itu bersumber dari Al-Qur’an yang merupakan inti dari segala ilmu.

E.        BEBERAPA KAIDAH DALAM QAWA’ID TAFSIR

Kaidah dasar berkaitan dengan penggunaan sumber pokok dalam menafsirkan Alquran yang meliputi Alquran, hadis, penjelasan sahabat dan perkataan tabiin. Dalam kaidah dasar ini seorang mufasir pertama-tama harus kembali kepada alquran dengan meneliti secara cermat dalam rangka mengumpulkan ayat-ayat alquran tentang suatu pokok persoalan. Kemudian menghubungkan dan memperbandingkan kandungan ayat-ayat yang mengandung arti mujmal yang diperinci oleh ayat lain. Atau jika pada suatu ayat masalahnya disebut secara singkat, maka diperluas oleh ayat lain. Bila mendapatkan hadis shahih, ia harus menafsirkan ayat berdasarkan hadis tersebut. Ia tidak dibenarkan untuk menafsirkannya menurut pendapatnya sendiri, dengan meninggalkan hadis tersebut. Selanjutnya, apabila terdapat penjelasan sahabat nabi untuk menafsirkan ayat alquran, ia harus menggunakan penjelasan tersebut sebagai dasar tafsirnya. Hanya saja mengingat banyak riwayat yang tidak benar dari sahabat, diperlukan kehati-hatian dan seleksi yang teliti.

Ada beberapa macam Qawaid Tafsir, seperti :

1. Mantuq dan Mafhum

a.Mantuq adalah makna yang ditunjukkan oleh lafaz dalam pembicaraan atau penuturan.
b.Mafhum adalah makna yang dipahami bukan dari pembicaraan.

2. ‘Am dan Khash

a.‘Am adalah lafaz yang memberi pengertian umum yang mencakup segala
sesuatu yang termasuk dalam lingkungannya tanpa ada batasan dalam jumlah
maupun dalam bilangan.
b. Khash adalah lafaz yang menunjuk kepada pengertian tertentu.

3. Mutlaq dan Muqayyad

a. Mutlaq adalah nas yang menunjuk kepada satu pengertian saja dengan tiada kaitannya pada ayat lain.
b. Muqayyad adalah nas yang menunjuk kepada satu pengertian, akan tetapi pengertian tersebut harus dikaitkan kepada adanya pengertian yang diberikan oleh ayat nas yang lain.

4. Mujmal dan Mubayyan

a. Mujmal adalah ayat yang menunjukkan kepada sesuatu pengertian yang tidak terang dan tidak rinci, atau dapat juga dikatakan sebagai suatu lafaz yang memerlukan penafsiran yang lebih jelas.
b. Mubayyan adalah suatu ayat yang diperoleh pada ayat yang lain.

5. Muhkam dan Mutasyabih

a. Muhkam adalah nas yang tidak memberikan keraguan lagi tentang apa yang
dimaksudkannya (nas yang sudah memberikan pengertian yang pasti)
b. Mutasyabih adalah nas yang mengandung pengertian yang samar-samar dan mempunyai kemungkinan beberapa arti.

Kaidah khusus yang dimaksudkan di sini adalah seperangkat ilmu pengetahuan yang dibutuhkan oleh seorang mufasir dalam menafsirkan alquran. Ilmu-ilmu tersebut meliputi ilmu bahasa Arab, nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’), ushul fiqh, dan ilmu qiraat. Ilmu bahasa (linguistik) berfungsi untuk mengetahui kosa kata, konotasi dan konteks Al-Qur’an. Melalui ilmu nahwu (tata bahasa), seorang mufasir akan mengetahui bahwa sebuah makna akan berubah seiring dengan perubahan i’rab. Dengan ilmu sharah (konyugasi), seorang mufasir dapat melihat bentuk, asal dan pola (shighat) sebuah kata. Sementara kaidah isytiqaq (derivasi kata, etimologi) digunakan untuk mengetahui akar atau kata dasar dari suatu kata. Sebab, jika diambil dari kata dasar yang berbeda, sebuah kata akan memiliki makna yang berbeda pula. Ilmu balaghah berperan dalam membimbing mufasir untuk mengetahui karakteristik susunan sebuah ungkapan yang dilihat dari makna yang dihasilkannya atau retorika (ma’ani), perbedaan-perbedaan maksudnya (bayan) dan sisi-sisi keindahan sebuah ungkapan (badi’). Adapun ilmu ushul fiqih dapat membantu mufasir dalam mempelajari cara pengambilan dan perumusan dalil-dalil hukum. Sedangkan ilmu qiraat digunakan oleh mufasir untuk mengetahui cara-cara melafalkan Al-Qur’an.[6]

F.         SEJARAH LAHIRNYA QAWA’ID AL-TAFSIR

Perlu diketahui bahwa perkembangan studi Al Qur’an ini telah melalui beberapa fase/masa perkembangan yang sejalan dengan perkembangan agama Islam. Di awali pada masa nabi Muhammad SAW. Dan kemudian diikuti oleh para sahabat terdekat (Khulafaurrasyidin) serta diperluas oleh tabi’i dan tabi’u at-tabi’in serta diteruskan oleh para ulama yang terbagi dalam beberapa fase yaitu:

1.      Fase pertama (masa hidupnya Nabi SAW hingga abad 11 Hijrah)

Pada masa ini perkembangan studi Al-Qur’an sudah dijelaskan pada penjelasan sebelumnya. Bahwa keadaan studi Al-Qur’an pada saat itu masih dalam perumusan yang dipelopori oleh para sahabat Nabi SAW. Diantara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan alquran adalah empat khulafaur rasyidin, Ibnu Ma’ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al-Asy’ari, Abdullah bin Zubair, Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Jabri bin Abdullah, Abdullah bin Amr bin Ash dan ‘Aiysah ummul mukminin.

2.      Fase kedua (abad III dan X Hijrah)

Setelah penaklukan Islam semakin meluas keluar dari Jazirah Arab, Pada era Khalifah Usman sahabat-sahabat besar diijinkan keluar dari kota Madinah untuk mengajarkan agama di daerah-daerah taklukan, maka para sahabat menyebar ke berbagai daerah dan mengembangkan madrasah di tempatnya masing-masing :
1)
    Di Mekkah berdiri perguruan Ibnu Abbas, diantara para tabi’in yang
menjadi muridnya adalah : Sa’id bin Jubair, Mujahid, Ikrimah maula Ibnu
Abbas, Tawus bin Kaisan Al-Yamani dan ‘Ata bin Abi Rabah.
2)
    Di Madinah Ubay bin Ka’ab lebih menonjol dibidang tafsir dari sahabat
Nabi yang lain, diantara muridnya dikalangan tabi’in adalah : Zaid bin
Aslam, Abu ‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab al-Qurazi.
3)
    Di Kufah (Iraq) berdiri perguruan Ibnu Mas’ud, yang dipandang oleh para
ulama sebagai cikal bakal mazhab ahli ra’y (akal). Tabi’in yang menjadi
muridnya antara lain : ‘Alqamah bin Qais, Masruq, Al-Aswad bin Yazid,
Murrah Al-Hamazani, ‘Amir Asy-Sya’bi, Hasan al-Basri dan Qatadah bin
Di’amah as-Sadusi.

Pembukuan tafsir dimulai pada akhir pemerintahan Bani Umayyah dan awal pemerintahan Bani Abbasyah. Tokoh-tokoh yang terkemuka diantara mereka adalah : Yazid bin Harun as-Sulami (wafat 117 H), Syu’bah bin al-Hajjaj (wafat 160 H), Waki’ bin Jarrah (wafat 197 H), Sufyan bin Uyainah (wafat 198 H0, Rauh bin ‘Ubadah al-Basri (wafat 205 H), Aburrazaq bin Hammam (wafat 211 H), Adam bin Abu Iyas (wafat 220 H) dan ‘Abd bin Humaid (wafat 249 H). Kitab tafsir pembukuan pertama ini tidak ada yang sampai kepada kita. Yang kita terima hanyalah nukilan-nukilan pada kitab-kitab tafsir bil ma’sur periode sesudahnya.
Generasi berikutnya setelah periode pertama diatas menulis tafsir secara independen serta menjadikan ilmu tafsir yang berdiri sendiri dan terpisah dari hadits. Diantara mereka adalah : Ibn Majah (safat 273 H), Ibn Jarir at-Tabari (wafat 310 H), Abu Bakar bin Munzir an-Naisaburi (safat 318 H), Ibn Abi Hatim (wafat 327 H), Abusy Syaikh bin Hibban (safat 369 H0, Al-Hakim (safat 405 H) dan Abu Bakar bin Mardawaih (safat 410 H).
Pada masa ini, kajian studi
Al-Qur’an sudah mulai berkembang yang ditandai dengan banyaknya ulama yang mengkhususkan kajian studi Al-Quran pada satu pokok pembahasan, seperti pembahasan tentang asbabun nuzul, nasikh dan mansukh, gharibil Quran dan ilmu-ilmu lainnya yang menyangkut tentang Al-Quran. Tidak ketinggalan pembahasan terhadap tafsir Al-Quran pada masa ini juga telah menjamur. Dengan meluasnya pengkajian terhadap studi Al-Quran maka para ulama Al-Quran pada saat itu bersepakat untuk
menggabungkan seluruh kajian-kajian mereka dalam satu bentuk pembahasan yang dinamakan dengan Ulumul Quran.

3.    Fase ketiga (abad XVI Hijrah / abad modern)

Setelah wafatnya Imam As-Syuyuthi (911 H), perkembangan studi Al Qur’an mengalami kemundurun, yaitu dengan terhentinya gerakan penulisan Ulumul Qur’an. Baru setelah abad XVI Hijrah atau abad modern gerakan penulisan dan pengkajian tersebut muncul dan berkembang kembali. Hal ini ditandai dengan banyak bermunculan ulama yang mengarang Ulumul Al-Quran dan menulis kitab-kitabnya, baik tafsir maupun macam-macam kitab Ulumul Quran lainnya.

Diantara para ulama yang menulis Tafsir / Ulumul Quran pada abad modern ini adalah sebagai berikut :

1) Ad-Dahlawi ; al- Fauzul Kabir fi Ushulit Tafsir
2) Thahir al-Jazari ; at-Thibyan Fi Ulumul Quran
3) Abu Daqiqah ; Ulumul Quran
4) M. Ali Slamah ; Minhaajul Furqan Fi Ulumul Quran
5) Muhammad Bahist ; Nuzulul Quran ‘ala Sab’ati Ahrufin.

Pengembangan kaidah-kaidah tafsir telah dilakukan oleh para ulama sejak awal munculnya ulum al-Qur’an. Di antaranya usaha yang dilakukan oleh Abd ar-Rahman ibn Nasir al-Sa’adi dalam kitabnya al-Qawaid al-Hisan li Tafsir al-Qur’an. Pembahasan tentang kaidah-kaidah tafsir juga dikaji secara mendalam dalam kitab-kitab ulum al-Qur’an yang lain , seperti oleh Manna al-Qattan dalam Mabahits Fi Ulum al-Qur’an. Namun dari berbagai kaidah yang disusun oleh para ulama ulum al-Qur’an tersebut tidak terdapat kesamaan konseptual antara yang satu dengan yang lainnya.



Ada yang mengembangkan kaidah-kaidah secara umum melalui pendekatan pemahaman keagamaan secara umum seperti hukum dan tauhid, seperti yang dilakukan oleh Abd ar-Rahman ibn Nasir al-Sa’adi.
Namun demikian mereka berbeda-beda tingkat pemahamannya, sehingga apa yang tidak diketahui oleh seseorang diantara mereka boleh jadi diketahui oleh yang lain.
Setelah masa Khulafaurrasyidin, maka muncullah ilmu-ilmu yang membahas tentang Al-Quran yang dimunculkan oleh para tabi’in, pada sudut pandang (bahasan) yang beraneka ragam. Ada yang membahas tentang penafsiran ayat-ayat yang menghapus dan dihapus oleh ayat yang lain (ilm nasikh wal mansukh) dan lain sebagainya. Kemudian setelah itu datanglah masa pembukuan/penuliasan cabang-cabang ulumul quran. Adapun cabang ulumul quran yang pertama kali dibukukan adalah Tafsir Al-Quran. Sebab Tafsir Al-Quran ini dianggap sebagai induk dari ilmu-ilmu Al-Quran lainnya.



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

Tafsir yang dinukil dari Rasulullah dan para sahabat tidak mencakup semua ayat Al-Quran. Mereka hanya menafsirkan bagian-bagian yang sulit difahami bagi orang-orang yang semasa dengan mereka. Kemudian kesulitan ini semakin meningkat secara bertahap disaat manusia bertambah jauh dari masa Nabi dan sahabat. Maka para tabi’in yang menekuni bidang tafsir merasa perlu dalam menyempurnakan sebagian kekurangan ini. Karenanya merekapun menambahkan kedalam tafsir keterangan-keterangan yang dapat menghilangkan kekurangan tersebut. Setelah itu muncullah generasi sesudah tabi’in. Generasi inipun berusaha menyempurnakan tafsir Al-Quran secara terus-menerus dengan berdasarkan pada pengetahuan mereka atas bahasa arab dan cara bertutur kata, peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa turunnya Al-Qur’an yang mereka pandang valid dan pada alat-alat pemahaman serta sarana pengkajian. Kaidah tafsir dapat diartikan sebagai pedoman dasar yang digunakan secara umum guna mendapatkan pemahaman atas petunjuk-petunjuk Al-Quran.

B.     Saran
Kami mengetahui dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan dan belum sempurna, untuk itu kami mohon pada pembaca memberikan masukan yang membangun, agar dalam membuat makalah selanjutnya lebih baik dari saat ini.


C.      
DAFTAR PUSTAKA
A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawir, Krapyak Yogyakarta.
Khalid Utsman Al-Sabt, Qawaid At Tafsiir Jam`an Wa Dirasah, (Mesir; Daar Ibnu Affan).
Yayan Rahtikawati dkk, 2013, Metodologi Tafsir Al-Qur’an, Bandung; Pustaka Setia.
Muhammad Amin Suma, 2013, Ulumul Qur’an, Depok; PT Raja Grafindo Persada.






[1]Ahmad Warson Munawwir, al-munawwir:Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta: Pondok Pesantren
    al- Munawwir, t.t.), hlm. 1224.
[2]jalal Ad-Din As-Suyuthi, Al-itqan fi ulum al Qur’an,juz 11, hlm.173.
[3]Yayan Rahtikawati,Metodologi Tafsir Al-Qur’an, (Bandung:Pustaka Setia,2013), hlm 26
[4]Andrew Rippin, tafsir Studies, hlm. 229-230
[5]. Ushul At-Tafsiir, hal. 13
[6] Qawaid At Tafsiir

0 komentar:

Posting Komentar