BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al Qur’an
merupakan kitab suci dan sumber ajaran Islam yang pertama dan utama. Apabila
dilakukan telah seksama, maka akan ditemukan bahwa Al Qur’an
mengandung keunikan-keunikan makna yang tiada akan pernah habis untuk dikaji
dan memberi isyarat makna yang tak terbatas. Kedudukan Al Qur’an
sebagai rujukan utama umat Islam dalam berbagai aspek kehidupan dan terbukanya
untuk interpretasi baru, merupakan motivasi tersendiri terhadap lahirnya
usaha-usaha untuk menafsirkan dan menggali kandungan maknanya.
Kitab suci Al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa
Arab, untuk memahami bahasa tersebut seseorang dituntut untuk mendalami bahasa
di mana kitab suci diturunkan, dalam segala aspeknya, baik perkembangan dan
tata aturan permainan yang digunakannya. Hal
semacam ini tidak terlepas dari usaha memahami Al-Qur’an
secara utuh dan menyeluruh. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu adanya
penelusuran sejarah tentang berbagai upaya ulama dalam mengembangkan
kaidah-kaidah penafsiran. Tujuannya adalah untuk mengetahui prosedur kerja para
ulama tafsir dalam menafsirkan Al-Qur’an
sehingga penafsiran tersebut dapat digunakan secara fungsional oleh masyarakat
Islam dalam menghadapi berbagai persoalan kehidupan. Kaidah-kaidah ini kemudian
dapat digunakan sebagai referensi bagi pemikir Islam kontemporer untuk
mengembangkan kaidah penafsiran yang sesuai dengan perkembangan zaman.Namun
kaidah-kaidah penafsiran di sini tidak berperan sebagai benar-salah terhadap
suatu penafsiran Al Qur’an.
Kaidah-kaidah ini lebih berfungsi sebagai mengawali
metodologis agar tafsir yang dihasilkan bersifat obyektif dan ilmiah serta
dapat dipertanggungjawabkan. Sebab produk tafsir pada dasarnya adalah produk
pemikiran manusia yang dibatasi oleh ruang dan waktu.
B. Rumusan Masalah
·
Definisi Qawa’id Tafsir
·
Metodologi Tafsir Al-Qur’an
·
Urgensi Qawa’id Tafsir
·
Keutamaan Kaidah Tafsir
·
Beberapa Kaidah Dalam Qawa’id Tafsir
·
Sejarah Lahirnya
Qawa’id Al-Tafsir
C. Tujuan Pembahasan
·
Mengetahui Definisi Qawa’id Tafsir
·
Mengetahui Metodologi Tafsir Al-Qur’an
·
Mengetahui Urgensi
Qawa’id Tafsir
·
Mengetahui Keutamaan Kaidah Tafsir
·
Mengetahui
Beberapa Kaidah Dalam Qawa’id Tafsir
·
Mengetahui
Sejarah Lahirnya Qawa’id
Al-Tafsir
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI QAWA’ID TAFSIR
Kata qawaid al-tafsir terdiri atas
dua kata, yaitu qawaid dan al-tafsir.
Qawaid adalah jamak (plural) dari kata mufrad (singular) qaidah, bentuk
feminim (muannats) dari kata mudzakkar (maksulin) qa’idah. Secara harfiah,
qaidah (dalam bahasa indonesia kaidah) berarti dasar, asas, paduan, prinsip,
juga bisa diartikan dengan peraturan, model, contoh, dan cara.[1]
Secara (etimologis), kata tafsir
berasal dari kata kerja al-bayaan (jelas), fassara (keterangan), at-tabyiin
(penjelasan) dan al-kasyf (terang sekali).[2]
Dengan demikian, secara umum kata tafsir adalah usaha untuk memperjelas,
memahami, serta menafsirkan teks dan makna Al-Qur’an, termasuk usaha untuk
mengadaptasikan teks Al-Qur’an ke dalam situasi kontemporer pada masa dan
tempat seseorang musaffir hidup.
Secara khusus, Ibn Hayyan
Al-Andalusi, dalam tafsir Abl-Bahr Al-Muhith menjelaskan bahwa tafsir sebagai
“ilmu yang membahas tata cara mengucapkan lafazh Al-Qur’an, menggali maknanya
(terdalamnya), memahami hukum, makna kontekstualnya, menggali makna yang
dikandung oleh struktur kalimat, serta ilmu penunjang lainnya.[3]
Adapun pengertian kaidah tafsir
adalah hukum-hukum Al-Kulliyah (sifatnya umum dan menyeluruh) yang
mengantarkan kepada kemampuan untuk memahami makna-makna Al-Qur’an dan mengetahui
metode pemanfaatannya (pengamalannya)
B. METODOLOGI TAFSIR AL-QUR’AN
Kaidah fiqhiyyah dapat dijadikan analogi bagi perubahan
pemahaman dan penafsiran, bahwa pemahaman dan penafsiran Al-qur’an bersifat
dinamis (berkembang dan memungkinkan berubahan) sesuai dengan konteks ruang dan
waktu. Nash (teks) Al-Qur’an tidak akan berubah dan berbeda sampai kapan pun,
kecuali menyangkut variasi bacaan dari sedikit ayat. Akan tetapi, pemahaman,
penafsiran, dan penerapan kaum muslim terhadap Al-Qur’an dapat memungkinkan
untuk terus berubah. Oleh karena itu, wajar apabila kemudian muncul berbagai
bentuk tafsir dan metode penafsiran dari zaman ke zaman. Demikian pula, dengan
variasi bentuk implementasinya Al-Qur’annya.
Kajian (disiplin ilmu) yang merekontruksi dan
menganalisis metode penafsiran inilah yang disebut metodologi. Secara
sederhana, metodologi adalah ilmu atau studi tentang berbagai sumber, metode,
pendekatan, teknik, dan tahapan penafsiran, sedangkan metode (manhaj) adalah
jalan yang ditempuh oleh musafir ketika menafsirkan Al-Qur’an.
Wacana metodologi tafsir ini disebabkan oleh beberapa
faktor sebagai berikut :
1. menguatkan
kesadaran di kalangan para pemikir muslim untuk mencari metode penafsiran
sesuai dengan situasi, zaman, dan tempat, terutama yang mampu menghasilkan
penafsiran yang sesuai dengan nalar masyarakat modern.
2. banyak
pemikir muslim dan non-muslim (para islamisis) pada masa modern ini yang
dilakukan penelitian dan kajian kritis mengenai paradigma, metode, pendekatan,
dan hasil penelitian para musafir sebelumnya. Dari sekian banyak hal yang
dikritisi dari para musafir, menyangkut metodologi (ilmu mengenai metode-metode
penafsiran)
3. perkembangan
berbagai metode dan kajian ilmiah yang berkembang di Barat (Amerika dan Eropa)
tidak dapat dielakkan oleh para pemikir muslim. Misalnya, para pemikir yang
mengembangkan kajiannya melalui pendekatan linguistik kritis untuk
mendekontruksi semua bangunan ideologi, teologi, golongan, dan semua
kecenderungan penafsiran ini dapat diusut sejak Ath-thabari sampai sekarang.[4]
Terkait dengan ketiga faktor tersebut, diakui atau tidak,
suka ataupun tidak, perkembangan metodologi tafsit dikalangan muslim ini
terkait pula dengan faktor eksternal, yaitu ekspansi dan kolonialisasi Barat
(Eropa dan Amerika). Peristiwa ini memberi pengaruh pada para penafsir zaman
ini. Kebebasan membebaskan diri dari belenggu kolonial, taklid telah
mengabaikan konflik sektarian. Mereka membangun kesadaran terbebas dan
terpuruknya peradaban Islam melalui penafsiran dan pembaharuan.
C. URGENSI
QAWA’ID TAFSIR
Ilmu kaidah tafsir mempunyai peranan
yang sangat penting, khususnya dalam mempelajari ilmu tafsir. Bahkan, suatu
keharusan bagi yang ingin mendalami kajian tafsir untuk menguasai kaidah
tafsir. Sebab, ilmu kaidah tafsir membahas pokok-pokok dan garis besar hukum
syariat yang terkandung di dalam Al-Qur’an. Dari situ kemudian dikembangkan
kepada hukum-hukum yang sifatnya juz’I (parsial).
Disamping itu, mempelajari Al-Quran,
yang merupakan obyek pembahasan ilmu kaidah tafsir, sangat jelas memiliki
urgensi yang sangat besar. Karena Al-Qur’an merupakan pedoman hidup bagi
seluruh umat manusia.
D.
KEUTAMAAN KAIDAH TAFSIR
1. Dari segi tema pembahasan:
yang menjadi obyek kajian adalah firman Allah Ta’ala yang merupakan
kitab yang paling mulia dan agung.
2. Dari segi tujuan dan
maksudnya: agar dapat berpegang teguh pada ajaran Allah untuk mendapatkan
kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
3. Dari segi peranannya yang
sangat dibutuhkan: di mana setiap insan manusia yang ingin mendapatkan
kebahagiaan dunia dan akhirat sangat memerlukan ilmu-ilmu syariat, dan itu
bersumber dari Al-Qur’an yang merupakan inti dari segala ilmu.
E. BEBERAPA KAIDAH DALAM QAWA’ID
TAFSIR
Kaidah
dasar berkaitan dengan penggunaan sumber pokok dalam menafsirkan Alquran yang
meliputi Alquran, hadis, penjelasan sahabat dan perkataan tabiin. Dalam kaidah
dasar ini seorang mufasir pertama-tama harus kembali kepada alquran dengan
meneliti secara cermat dalam rangka mengumpulkan ayat-ayat alquran tentang
suatu pokok persoalan. Kemudian menghubungkan dan memperbandingkan kandungan
ayat-ayat yang mengandung arti mujmal yang diperinci oleh ayat lain. Atau jika
pada suatu ayat masalahnya disebut secara singkat, maka diperluas oleh ayat
lain. Bila mendapatkan hadis shahih, ia harus menafsirkan ayat berdasarkan
hadis tersebut. Ia tidak dibenarkan untuk menafsirkannya menurut pendapatnya
sendiri, dengan meninggalkan hadis tersebut. Selanjutnya, apabila terdapat
penjelasan sahabat nabi untuk menafsirkan ayat alquran, ia harus menggunakan
penjelasan tersebut sebagai dasar tafsirnya. Hanya saja mengingat banyak
riwayat yang tidak benar dari sahabat, diperlukan kehati-hatian dan seleksi
yang teliti.
Ada
beberapa macam Qawaid Tafsir, seperti :
1.
Mantuq dan Mafhum
a.Mantuq
adalah makna yang ditunjukkan oleh lafaz dalam pembicaraan atau penuturan.
b.Mafhum adalah makna yang dipahami bukan dari pembicaraan.
2.
‘Am dan Khash
a.‘Am
adalah lafaz yang memberi pengertian umum yang mencakup segala
sesuatu
yang termasuk dalam lingkungannya tanpa ada batasan dalam jumlah
maupun
dalam bilangan.
b.
Khash adalah lafaz yang menunjuk kepada pengertian tertentu.
3.
Mutlaq dan Muqayyad
a.
Mutlaq adalah nas yang menunjuk kepada satu pengertian saja dengan tiada
kaitannya pada ayat lain.
b.
Muqayyad adalah nas yang menunjuk kepada satu pengertian, akan tetapi
pengertian tersebut harus dikaitkan kepada adanya pengertian yang diberikan
oleh ayat nas yang lain.
4.
Mujmal dan Mubayyan
a.
Mujmal adalah ayat yang menunjukkan kepada sesuatu pengertian yang tidak terang
dan tidak rinci, atau dapat juga dikatakan sebagai suatu lafaz yang memerlukan
penafsiran yang lebih jelas.
b.
Mubayyan adalah suatu ayat yang diperoleh pada ayat yang lain.
5. Muhkam dan Mutasyabih
a.
Muhkam adalah nas yang tidak memberikan keraguan lagi tentang apa yang
dimaksudkannya (nas yang sudah memberikan pengertian yang pasti)
dimaksudkannya (nas yang sudah memberikan pengertian yang pasti)
b.
Mutasyabih adalah nas yang mengandung pengertian yang samar-samar dan mempunyai
kemungkinan beberapa arti.
Kaidah
khusus yang dimaksudkan di sini adalah seperangkat ilmu pengetahuan yang
dibutuhkan oleh seorang mufasir dalam menafsirkan alquran. Ilmu-ilmu tersebut
meliputi ilmu bahasa Arab, nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’),
ushul fiqh, dan ilmu qiraat. Ilmu bahasa (linguistik) berfungsi untuk
mengetahui kosa kata, konotasi dan konteks Al-Qur’an. Melalui ilmu nahwu (tata
bahasa), seorang mufasir akan mengetahui bahwa sebuah makna akan berubah
seiring dengan perubahan i’rab. Dengan ilmu sharah (konyugasi), seorang mufasir
dapat melihat bentuk, asal dan pola (shighat) sebuah kata. Sementara kaidah
isytiqaq (derivasi kata, etimologi) digunakan untuk mengetahui akar atau kata
dasar dari suatu kata. Sebab, jika diambil dari kata dasar yang berbeda, sebuah
kata akan memiliki makna yang berbeda pula. Ilmu balaghah berperan dalam
membimbing mufasir untuk mengetahui karakteristik susunan sebuah ungkapan yang
dilihat dari makna yang dihasilkannya atau retorika (ma’ani),
perbedaan-perbedaan maksudnya (bayan) dan sisi-sisi keindahan sebuah ungkapan
(badi’). Adapun ilmu ushul fiqih dapat membantu mufasir dalam mempelajari cara
pengambilan dan perumusan dalil-dalil hukum. Sedangkan ilmu qiraat digunakan
oleh mufasir untuk mengetahui cara-cara melafalkan Al-Qur’an.[6]
F. SEJARAH
LAHIRNYA QAWA’ID AL-TAFSIR
Perlu
diketahui bahwa perkembangan studi Al Qur’an ini telah melalui beberapa
fase/masa perkembangan yang sejalan dengan perkembangan agama Islam. Di awali
pada masa nabi Muhammad SAW. Dan kemudian diikuti oleh para sahabat terdekat
(Khulafaurrasyidin) serta diperluas oleh tabi’i dan tabi’u at-tabi’in serta
diteruskan oleh para ulama yang terbagi dalam beberapa fase yaitu:
1.
Fase pertama (masa
hidupnya Nabi SAW hingga abad 11 Hijrah)
Pada masa ini
perkembangan studi Al-Qur’an sudah dijelaskan pada penjelasan sebelumnya. Bahwa
keadaan studi Al-Qur’an pada saat itu masih dalam perumusan yang dipelopori
oleh para sahabat Nabi SAW. Diantara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan
alquran adalah empat khulafaur rasyidin, Ibnu Ma’ud, Ibnu Abbas, Ubay bin
Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa Al-Asy’ari, Abdullah bin Zubair, Anas bin
Malik, Abdullah bin Umar, Jabri bin Abdullah, Abdullah bin Amr bin Ash dan
‘Aiysah ummul mukminin.
2.
Fase kedua (abad III
dan X Hijrah)
Setelah
penaklukan Islam semakin meluas keluar dari Jazirah Arab, Pada era Khalifah
Usman sahabat-sahabat besar diijinkan keluar dari kota Madinah untuk
mengajarkan agama di daerah-daerah taklukan, maka para sahabat menyebar ke
berbagai daerah dan mengembangkan madrasah di tempatnya masing-masing :
1) Di Mekkah berdiri perguruan Ibnu Abbas, diantara para tabi’in yang
1) Di Mekkah berdiri perguruan Ibnu Abbas, diantara para tabi’in yang
menjadi
muridnya adalah : Sa’id bin Jubair, Mujahid, Ikrimah maula Ibnu
Abbas,
Tawus bin Kaisan Al-Yamani dan ‘Ata bin Abi Rabah.
2) Di Madinah Ubay bin Ka’ab lebih menonjol dibidang tafsir dari sahabat
2) Di Madinah Ubay bin Ka’ab lebih menonjol dibidang tafsir dari sahabat
Nabi
yang lain, diantara muridnya dikalangan tabi’in adalah : Zaid bin
Aslam,
Abu ‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab al-Qurazi.
3) Di Kufah (Iraq) berdiri perguruan Ibnu Mas’ud, yang dipandang oleh para
3) Di Kufah (Iraq) berdiri perguruan Ibnu Mas’ud, yang dipandang oleh para
ulama
sebagai cikal bakal mazhab ahli ra’y (akal). Tabi’in yang menjadi
muridnya
antara lain : ‘Alqamah bin Qais, Masruq, Al-Aswad bin Yazid,
Murrah
Al-Hamazani, ‘Amir Asy-Sya’bi, Hasan al-Basri dan Qatadah bin
Di’amah
as-Sadusi.
Pembukuan
tafsir dimulai pada akhir pemerintahan Bani Umayyah dan awal pemerintahan Bani
Abbasyah. Tokoh-tokoh yang terkemuka diantara mereka adalah : Yazid bin Harun
as-Sulami (wafat 117 H), Syu’bah bin al-Hajjaj (wafat 160 H), Waki’ bin Jarrah
(wafat 197 H), Sufyan bin Uyainah (wafat 198 H0, Rauh bin ‘Ubadah al-Basri
(wafat 205 H), Aburrazaq bin Hammam (wafat 211 H), Adam bin Abu Iyas (wafat 220
H) dan ‘Abd bin Humaid (wafat 249 H). Kitab tafsir pembukuan
pertama ini tidak ada yang sampai kepada kita. Yang kita terima hanyalah
nukilan-nukilan pada kitab-kitab tafsir bil ma’sur periode sesudahnya.
Generasi
berikutnya setelah periode pertama diatas menulis tafsir secara independen
serta menjadikan ilmu tafsir yang berdiri sendiri dan terpisah dari hadits.
Diantara mereka adalah : Ibn Majah (safat 273 H), Ibn Jarir at-Tabari (wafat
310 H), Abu Bakar bin Munzir an-Naisaburi (safat 318 H), Ibn Abi Hatim (wafat
327 H), Abusy Syaikh bin Hibban (safat 369 H0, Al-Hakim (safat 405 H) dan Abu
Bakar bin Mardawaih (safat 410 H).
Pada masa ini, kajian studi Al-Qur’an sudah mulai berkembang yang ditandai dengan banyaknya ulama yang mengkhususkan kajian studi Al-Qur’an pada satu pokok pembahasan, seperti pembahasan tentang asbabun nuzul, nasikh dan mansukh, gharibil Qur’an dan ilmu-ilmu lainnya yang menyangkut tentang Al-Qur’an. Tidak ketinggalan pembahasan terhadap tafsir Al-Qur’an pada masa ini juga telah menjamur. Dengan meluasnya pengkajian terhadap studi Al-Qur’an maka para ulama Al-Qur’an pada saat itu bersepakat untuk
Pada masa ini, kajian studi Al-Qur’an sudah mulai berkembang yang ditandai dengan banyaknya ulama yang mengkhususkan kajian studi Al-Qur’an pada satu pokok pembahasan, seperti pembahasan tentang asbabun nuzul, nasikh dan mansukh, gharibil Qur’an dan ilmu-ilmu lainnya yang menyangkut tentang Al-Qur’an. Tidak ketinggalan pembahasan terhadap tafsir Al-Qur’an pada masa ini juga telah menjamur. Dengan meluasnya pengkajian terhadap studi Al-Qur’an maka para ulama Al-Qur’an pada saat itu bersepakat untuk
menggabungkan
seluruh kajian-kajian mereka dalam satu bentuk pembahasan yang dinamakan dengan
Ulumul Qur’an.
3. Fase ketiga (abad XVI
Hijrah / abad modern)
Setelah wafatnya Imam As-Syuyuthi (911 H), perkembangan
studi Al Qur’an mengalami kemundurun, yaitu dengan terhentinya gerakan
penulisan Ulumul Qur’an. Baru
setelah abad XVI Hijrah atau abad modern gerakan penulisan dan pengkajian
tersebut muncul dan berkembang kembali. Hal ini ditandai dengan banyak
bermunculan ulama yang mengarang Ulumul Al-Qur’an dan menulis
kitab-kitabnya, baik tafsir maupun macam-macam kitab Ulumul Qur’an lainnya.
Diantara
para ulama yang menulis Tafsir / Ulumul Qur’an pada abad modern ini
adalah sebagai berikut :
1)
Ad-Dahlawi ; al- Fauzul Kabir fi Ushulit Tafsir
2) Thahir al-Jazari ; at-Thibyan Fi Ulumul Quran
3) Abu Daqiqah ; Ulumul Quran
4) M. Ali Slamah ; Minhaajul Furqan Fi Ulumul Quran
5) Muhammad Bahist ; Nuzulul Quran ‘ala Sab’ati Ahrufin.
2) Thahir al-Jazari ; at-Thibyan Fi Ulumul Quran
3) Abu Daqiqah ; Ulumul Quran
4) M. Ali Slamah ; Minhaajul Furqan Fi Ulumul Quran
5) Muhammad Bahist ; Nuzulul Quran ‘ala Sab’ati Ahrufin.
Pengembangan
kaidah-kaidah tafsir telah dilakukan oleh para ulama sejak awal munculnya ulum
al-Qur’an. Di antaranya usaha yang dilakukan oleh Abd ar-Rahman ibn Nasir
al-Sa’adi dalam kitabnya al-Qawaid al-Hisan li Tafsir al-Qur’an. Pembahasan
tentang kaidah-kaidah tafsir juga dikaji secara mendalam dalam kitab-kitab ulum
al-Qur’an yang lain , seperti oleh Manna al-Qattan dalam Mabahits Fi Ulum
al-Qur’an. Namun dari berbagai kaidah yang disusun oleh para ulama ulum
al-Qur’an tersebut tidak terdapat kesamaan konseptual antara yang satu dengan
yang lainnya.
Ada yang mengembangkan kaidah-kaidah secara umum melalui
pendekatan pemahaman keagamaan secara umum seperti hukum dan tauhid, seperti
yang dilakukan oleh Abd ar-Rahman ibn Nasir al-Sa’adi.
Namun demikian mereka berbeda-beda tingkat pemahamannya, sehingga apa yang tidak diketahui oleh seseorang diantara mereka boleh jadi diketahui oleh yang lain. Setelah masa Khulafaurrasyidin, maka muncullah ilmu-ilmu yang membahas tentang Al-Qur’an yang dimunculkan oleh para tabi’in, pada sudut pandang (bahasan) yang beraneka ragam. Ada yang membahas tentang penafsiran ayat-ayat yang menghapus dan dihapus oleh ayat yang lain (ilm nasikh wal mansukh) dan lain sebagainya. Kemudian setelah itu datanglah masa pembukuan/penuliasan cabang-cabang ulumul quran. Adapun cabang ulumul quran yang pertama kali dibukukan adalah Tafsir Al-Qur’an. Sebab Tafsir Al-Qur’an ini dianggap sebagai induk dari ilmu-ilmu Al-Qur’an lainnya.
Namun demikian mereka berbeda-beda tingkat pemahamannya, sehingga apa yang tidak diketahui oleh seseorang diantara mereka boleh jadi diketahui oleh yang lain. Setelah masa Khulafaurrasyidin, maka muncullah ilmu-ilmu yang membahas tentang Al-Qur’an yang dimunculkan oleh para tabi’in, pada sudut pandang (bahasan) yang beraneka ragam. Ada yang membahas tentang penafsiran ayat-ayat yang menghapus dan dihapus oleh ayat yang lain (ilm nasikh wal mansukh) dan lain sebagainya. Kemudian setelah itu datanglah masa pembukuan/penuliasan cabang-cabang ulumul quran. Adapun cabang ulumul quran yang pertama kali dibukukan adalah Tafsir Al-Qur’an. Sebab Tafsir Al-Qur’an ini dianggap sebagai induk dari ilmu-ilmu Al-Qur’an lainnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tafsir yang dinukil
dari Rasulullah dan para sahabat tidak mencakup semua ayat Al-Qur’an. Mereka hanya
menafsirkan bagian-bagian yang sulit difahami bagi orang-orang yang semasa
dengan mereka. Kemudian kesulitan ini semakin meningkat secara bertahap disaat
manusia bertambah jauh dari masa Nabi dan sahabat. Maka para tabi’in yang menekuni
bidang tafsir merasa perlu dalam menyempurnakan sebagian kekurangan ini.
Karenanya merekapun menambahkan kedalam tafsir keterangan-keterangan yang dapat
menghilangkan kekurangan tersebut. Setelah itu muncullah generasi
sesudah tabi’in. Generasi inipun berusaha menyempurnakan tafsir Al-Qur’an secara terus-menerus
dengan berdasarkan pada pengetahuan mereka atas bahasa arab dan cara bertutur
kata, peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa turunnya Al-Qur’an yang mereka pandang
valid dan pada alat-alat pemahaman serta sarana pengkajian. Kaidah tafsir dapat
diartikan sebagai pedoman dasar yang digunakan secara umum guna mendapatkan
pemahaman atas petunjuk-petunjuk Al-Qur’an.
B. Saran
Kami
mengetahui dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan dan belum
sempurna, untuk itu
kami mohon pada pembaca
memberikan masukan yang membangun, agar dalam membuat makalah selanjutnya lebih
baik dari saat ini.
C.
DAFTAR PUSTAKA
A.W. Munawwir, Kamus Al-Munawir, Krapyak
Yogyakarta.
Khalid Utsman Al-Sabt, Qawaid At Tafsiir Jam`an Wa
Dirasah, (Mesir; Daar Ibnu Affan).
Yayan Rahtikawati dkk, 2013, Metodologi Tafsir Al-Qur’an, Bandung; Pustaka
Setia.
Muhammad Amin Suma, 2013, Ulumul Qur’an, Depok; PT Raja Grafindo
Persada.
[1]Ahmad Warson
Munawwir, al-munawwir:Kamus Arab
Indonesia, (Yogyakarta: Pondok Pesantren
al- Munawwir, t.t.), hlm. 1224.
[2]jalal Ad-Din
As-Suyuthi, Al-itqan fi ulum al Qur’an,juz
11, hlm.173.
[3]Yayan
Rahtikawati,Metodologi Tafsir Al-Qur’an,
(Bandung:Pustaka Setia,2013), hlm 26
[4]Andrew Rippin, tafsir Studies, hlm. 229-230
[6]
Qawaid
At Tafsiir
0 komentar:
Posting Komentar